JAKARTA, Warganet – Amnesti dan abolisi merupakan kewenangan mutlak yang dimiliki oleh Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat 2 UUD 1945.
Tentu dalam pemberian amnesti dan abolisi ini diperlukan pertimbangan dan persetujuan dari DPR RI, karena tujan pemberian amnesti semua akibat hukum pidana dihapuskan.
Sedangkan dengan pemberian abolisi maka penuntutan ditiadakan atau penuntutan dihapuskan serta melakukan penghentian apabila putusan itu telah dijalankan sekalipun
“Ini jelas langkah konkrit dalam implementasi kewenangan kepala negara yang konstitusional, cendrung hal ini dimaknai sebagai keputusan politik penting antara kekuasaan eksekutif dan legislatif untuk dapat melepaskan pertanggungjawaban pidana,” kata Azmi Syahputra, dosen fakultas hukum Universitas Trisakti, Kamis (31/7/2025) malam, seperti yang dilansir Monitorindonesia.com.

Dengan kata lain, sarana ini digunakan untuk membebaskan seseorang dari hukuman yang sedang dijalani.
“Artinya Presiden melihat dalam kedua kasus ini tidak semata pada faktor yuridis atau apakah perkara ini terdapat faktor lain, yang beririsan dominasi muatan politis atau berlatar belakang rasa konflik politis,” jelas Azmi yang Sekretaris Jenderal (Sekjen) Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki).
Sebab, ungkap Azmi, ada kemungkinan dua irisan secara hukum maupun aspek non hukum (politik), sebab hukum tidak berada di ruang hampa.
“Bisa saja langkah fungsi hukum dan kewenangan ini diambil dari dari melihat keadaan peristiwa ini secara kontek sosial, ekonomi atau suasana politik saat ini,” ungkap Azmi.
Karenanya, tambah Azmi, jika ini merupakan kasus yang “muatan politik” yang ditujukan dimaksudkan pada orang atau badan yang memiliki posisi politik yang melakukan perbuatan melawan hukum.
“Karenanya kewenangan ini diambil dapat pula Presiden melihat ada kemasalahatan tujuan yang lebih besar dalam permasalahan ini.”
“Atau melihat kasus ini akan berdampak negatif luas jika tidak direspons dengan tuntas atau apakah ini untuk memperkuat posisi politik tertentu, mengingat apakah dalam melihat kasus Tom Lembong dan Hasto cendrung lebih pada muatan politis?,” timpal Azmi.
Jadi jelas, tambah Azmi, pemberian amnesti dan abolisi dalam dua kasus ini menjadi suatu kekhususan istimewa dari langkah bijaksana dan strategis konkrit Presiden untuk mengatasi permasalahan ini secara cepat dan efektif.
Adapun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah menyetujui permintaan abolisi untuk terdakwa kasus impor gula Thomas Trikasih Lembong dan amnesti untuk terdakwa kasus suap pergantian antar waktu anggota DPR Hasto Kristiyanto yang diusulkan Presiden Prabowo Subianto.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, seluruh fraksi di DPR telah menyepakati usulan tersebut dan tinggal menunggu penerbitan Keputusan Presiden (Keppres).
“Dan hasil rapat konsultasi tersebut, DPR telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Surat Presiden Nomor R43/pres/072025 tanggal 30 Juli 2025 atas pertimbangan persetujuan DPR tentang pemberian abolisi terhadap saudara Tom Lembong,” kata Dasco dalam konferensi pers di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (31/7/2025) malam.
“Yang kedua adalah pemberian persetujuan atas dan pertimbangan atas Surat Presiden Nomor 42/pres/072025 tanggal 30 Juli 2025, tentang amnesti terhadap 1.116 orang yang telah terpidana diberikan amnesti termasuk saudara Hasto Kristiyanto,” timpalnya.
Sementara Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengungkap alasan Prabowo mengusulkan pemberian abolisi terhadap Tom dan amnesti terhadap Hasto.
“Salah satu pertimbangan pada dua orang ini salah satunya kita ingin menjadi ada persatuan dan dalam rangka perayaan 17 Agustus,” katanya dalam kesempatan yang sama.
Penting diketahui bahwa Amnesti merupakan pengampunan atau penghapusan hukuman terhadap suatu tindak pidana tertentu yang diberikan oleh negara (biasanya oleh kepala negara, seperti presiden) kepada sekelompok orang atau individu, tanpa melalui proses peradilan biasa, dan sering kali berkaitan dengan pelanggaran yang bersifat politis.
Dasar hukum pemberian amnesti itu diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR”.
Pemberian amnesti itu harus diberikan oleh presiden melalui Keputusan Presiden.
Serta bersifat kolektif dan bisa diberikan kepada sekelompok orang meskipun bisa juga individu.
Bahkan, dampak pemberian amnesti dapat menghapus akibat hukum pidana, artinya seolah-olah tindak pidana tersebut tidak pernah dilakukan.
Biasanya amnesti ditujukan untuk tindak pidana politik, makar, pemberontakan, atau pelanggaran hukum dalam konteks tertentu seperti konflik bersenjata, pemberontakan, dan sejenisnya.
Amnesti sendiri diberikan sebelum atau sesudah proses hukum, dan bisa menghentikan seluruh proses pidana.
Oleh karena itu, pemberian amnesti akan menghapus tindak pidana meskipun Hasto Kristiyanto telah divonis 3 tahun dan 6 bulan penjara, serta denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan.
Amnesti itu diberikan demi kepentingan nasional, rekonsiliasi, atau stabilitas politik. (*)