Korupsi yang kental motivasi politik?
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Sulistyowati Irianto, menyebut kasus yang dihadapi Tom dan Hasto adalah dugaan korupsi yang kental motivasi politik.
Dugaan politisasi disebutnya bisa menjadi alasan untuk memberi amnesti dan abolisi sepanjang memiliki alasan yang kuat. “Alasan dan tujuan pemberian amnesti dan abolisi pada keduanya harus dijawab Prabowo. Keduanya menjadi tersangka saat pemerintah Prabowo, tapi sekarang Prabowo berikan amnesti dan abolisi,” kata Sulistyowati.
Namun Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas berkata pemberian amnesti dan abolisi untuk Tom dan Hasto “sesuai dengan semangat rekonsiliasi”.
Prabowo, kata dia, yakin bahwa “membangun bangsa membutuhkan kekuatan politik yang solid”. Usai pengampunan Prabowo untuk Hasto, pimpinan tertinggi PDIP Megawati Soekarnoputri memerintahkan para kadernya untuk mendukung pemerintah.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, menyebut amnesti dan abolisi memang memiliki nuansa politis, merujuk sejarah pemberiannya.
Rekonsiliasi, kata Zainal, memang menjadi salah satu tujuan pemberian amnesti dan abolisi. Namun yang terjadi saat ini disebut Zainal tidak sesuai dengan definisi rekonsiliasi selama ini.
“Penggunaannya biasanya berbasis rekonsiliasi dan kemanusiaan. Dugaan saya saat ini, rekonsiliasi politik yang tujuannya hanya perimbangan politik bukan proses hukum yang memadai,” jelasnya.
Zainal menyoroti kasus Hasto yang menurut vonis hakim “terlibat dalam tindak pidana korupsi”. Amnesti kepada Hasto disebut Zainal bisa berdampak pada terpidana kasus korupsi lain, yang perannya juga “ikut serta”. “Apakah berarti pelaku ikut serta lainnya juga nanti dihilangkan,” ujarnya.
Zainal menduga, abolisi untuk Tom dapat memutus dugaan keterlibatan sejumlah menteri perdagangan lain terkait persoalan ekspor-impor.
Peneliti ICW Yassar Aulia menambahkan amnesti dan abolisi untuk Hasto dan Tom berpotensi melemahkan kepercayaan publik pada lembaga peradilan, selain mencederai prinsip pengawasan antara pemerintah dan badan yudikatif. Upaya koreksi terhadap sebuah putusan, menurut Yassar, seharusnya bisa ditempuh dengan cara lain, seperti banding, kasasi, dan peninjauan kembali, maupun pengaduan ke Komisi Yudisial.
“Tapi karena ada intervensi melalui abolisi dan amnesti ini semua kemungkinan-kemungkinan tadi jadi tertutup rapat, dianggap selesai begitu saja,” ucap Yassar.
Keputusan ini, lanjutnya, seolah menggambarkan ketidakpercayaan presiden terhadap lembaga peradilan. Bahkan bisa berpengaruh juga pada tingkat kepercayaan publik. “Ini bisa jadi preseden buruk proses-proses penegakan hukum atau pemberantasan korupsi di Indonesia,” tuturnya.