pasang bener iklan disini aja!
Hukum Dan Kriminal

Drama Pengadilan ?

65
×

Drama Pengadilan ?

Sebarkan artikel ini
Kolase foto: Tom Lembong dan Hasto

Amnesti dan abolisi di Indonesia

Kata “amnesti” dan “abolisi” ada dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945. Kata tersebut sebelumnya bersanding dengan hak prerogatif presiden lainnya, yaitu pemberian grasi dan rehabilitasi.

Namun pada perubahan pertama tertanggal 19 Oktober 1999, pasal tersebut dibagi menjadi dua ayat sejalan dengan perubahan pemberi pertimbangan.

Amnesti dan abolisi ditempatkan pada Pasal 14 ayat 2 berbunyi “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Sementara itu, grasi dan rehabilitasi tetap berpegang pada pertimbangan Mahkamah Agung.

Abolisi memiliki arti peniadaan peristiwa pidana dengan penghentian proses hukum terhadap suatu tindak pidana.

Amnesti merupakan penghapusan akibat hukum pidana dari suatu perbuatan pidana atau sekelompok perbuatan pidana.

Untuk memperkuat pelaksanaannya, Presiden Soekarno menerbitkan UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang amnesti dan abolisi.

Dalam regulasi tersebut, presiden, atas kepentingan negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan suatu tindak pidana setelah mendapat nasihat dari Mahkamah Agung.

Pasal selanjutnya, amnesti dan abolisi diberikan pada semua orang yang sebelum 27 Desember 1949 telah melakukan tindak pidana akibat persengketaan politik antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda.

Seperti diketahui, 27 Desember 1949 merupakan momentum pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat oleh Belanda pasca Konferensi Meja Bundar. “Dengan semangat menjaga persatuan negara yang baru saja bertumbuh”, amnesti dan abolisi kala itu diberikan pada para “pemberontak” yang dinilai insaf dan menyatakan pengakuan dan sumpah setia pada Indonesia dan ideologinya. Hal ini juga ditujukan untuk memupuk persatuan dan kesatuan.

Karena itu, deretan Keputusan Presiden yang dikeluarkan sejak 1959 hingga 1964 ditujukan Presiden Soekarno pada para anggota gerakan yang dituding memberontak.

Yang mendapatkan amnesti dan abolisi dari Soekarno, antara lain Daud Bereueh di Aceh, pimpinan DI/TII Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, dan Kartosuwirjo di Jawa Barat, dan Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan.

Begitu pula pada era Soeharto, amnesti dan abolisi diberikan pada para narapidana terkait peristiwa Awom, Mandacan, dan Wagete-Enaratoli yang berkaitan dengan upaya kemerdekaan Papua pada 1969.

Kemudian, para anggota Fretilin di Timor Timur juga memperoleh amnesti dan abolisi pada 1977. Memasuki pemerintahan B.J Habibie dan Abdurrahman Wahid, amnesti dan abolisi berfokus pada pengakuan hak asasi manusia.

Sejumlah nama yang menerima penghapusan penuntutan hukum ini, yakni Karlina Supelli, Gadis Arivia, dan Wilasih Nophiana.

Sementara itu, pengampunan diberikan pada Dita Indah Sari, Budiman Sudjatmiko, Petrus Hariyono, hingga Ken Budha Kusumandaru yang merupakan anggota Partai Rakyat Demokratik.

Kemudian, Sri Bintang Pamungkas yang dituding makar dan Muchtar Pakpahan karena menginisiasi demonstrasi buruh.

Saat menjabat sebagai presiden, Megawati Soekarnoputri hanya mengeluarkan sekali amnesti dan abolisi kepada Amin Amsar dan Jauhar bin Saleh. Rencana amnesti dan abolisi untuk Soeharto tidak berlanjut.

Pada masa Soesilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden, pengampunan ini diberikan pada anggota Gerakan Aceh Merdeka dengan berpegang pada alasan persatuan dan kesatuan, serta bertujuan mengakhiri konflik separatis setelah perundingan damai.

Selanjutnya, Joko Widodo mengeluarkan amnesti pada Baiq Nuril dan Saiful Mahdi yang terkena kasus dugaan pelanggaran UU ITE pada 2019 dan 2021. Dari 1961-2021, pemberian amnesti dan abolisi didominasi para tahanan dan narapidana politik. Hanya segelintir yang merupakan korban ketidakadilan, seperti Baiq dan Saiful.

Landasan keluarnya Keputusan Presiden berdasar pada UU Darurat Nomor 11 Tahun1954. Pada 2022, muncul naskah akademik untuk perubahan aturan mengenai abolisi dan amnesti ini. Namun hingga kini, tak ada kelanjutannya.

Pakar hukum tata negara dari UGM, Zainal Arifin Mochtar, berpendapat perlu ada aturan yang jelas terkait kriteria pemberian amnesti dan abolisi ini. Selama ini, regulasi yang menjadi acuan tidak memiliki spesifikasi pelaku jenis tindak pidana apa yang berhak menerima amnesti dan abolisi. (*)