PALEMBANG-SUMSEL, Warganet – Krisisnya moralitas pendidikan di Sumatera Selatan (Sumsel) merupakan isu yang kompleks dan menuntut perhatian serius dari berbagai pihak. Moralitas dalam konteks pendidikan merujuk pada nilai-nilai etika dan norma yang seharusnya diinternalisasi dalam proses pembelajaran. Nilai-nilai ini tidak hanya penting untuk perkembangan akademis siswa, tetapi juga untuk pembentukan karakter dan perilaku mereka di masyarakat. Dalam beberapa waktu ini banyaknya isu Pendidikan sumatera selatan (sumsel) yang mencoreng wajah Pendidikan di sumatera selatan, banyaknya indikasi yang menunjukkan kemunduran dalam moralitas, baik di kalangan siswa maupun di lingkungan pendidikan secara keseluruhan.
Banyaknya pemberitaan yang muncul sebagai respons terhadap berbagai tantangan yang dihadapi oleh sistem pendidikan di Sumsel, munculnya perilaku negatif seperti kasus bully, penganiayaan terhadap siswa dan terjadinya kekerasan terhadap sesama guru, ini menjadi tanda nyata dari kemunduran moral. Selain itu, faktor eksternal seperti pengaruh keluarga, masyarakat, serta kebijakan pendidikan yang kurang mendukung juga memberikan kontribusi terhadap krisis ini.
Menangapi isu serta polemik tersebut, saat dikonfirmasi media online Warganet, Sabtu (18/10/2025) kepada akademisi sekaligus penggiat pendidikan di Sumsel, Muhammad Nurhadi Mulia SH MH mengatakan bahwa Penting untuk memahami bahwa krisis moralitas pendidikan tidak hanya memengaruhi siswa, tetapi juga dapat berdampak pada guru, staf pendidikan, dan lingkungan sekolah secara keseluruhan.
“Ketika moralitas diabaikan, hal ini berpotensi menciptakan lingkungan yang tidak kondusif untuk belajar, yang pada gilirannya dapat mengganggu proses pembelajaran dan perkembangan siswa. Dengan adanya kondisi ini, menjadi penting untuk mengevaluasi tanggung jawab berbagai pihak, dari pemerintah, institusi pendidikan, hingga masyarakat, dalam mengatasi krisis moralitas pendidikan di Sumsel, agar generasi mendatang dapat tumbuh dengan nilai-nilai yang baik dan menjadi agen perubahan positif bagi masyarakat.”Katanya
Krisis moralitas yang terjadi dalam pendidikan di Sumsel, menurutnya dapat ditelusuri melalui berbagai faktor yang saling berinteraksi, baik dari segi internal maupun eksternal;
“Diantara faktor internal, kurikulum pendidikan memegang peranan penting. Banyak kurikulum yang hanya fokus pada pencapaian akademis dan kurang memperhatikan pendidikan karakter, sehingga siswa tidak diasah kemampuan moral dan etika. “Contoh nyata adalah maraknya kasus penganiayaan dan bully di kalangan pelajar yang menunjukkan kurangnya pemahaman akan nilai-nilai moralitas, dapat menyebabkan siswa berperilaku yang tidak etis. di sisi lain juga adanya terjadi kasus penganiayaan sesama guru yang terjadi di kota Palembang memberikan tamparan keras terhadap dunia Pendidikan di sumatera selatan, ini menjadi pertandatanya besar apakan sudah sekrisis ini moralitas Pendidikan di sumsel sampai hal seperti ini dapat terjadi dan mencoreng wajah Pendidikan disumatera selatan.
“Faktor eksternal juga turut mempengaruhi. Keluarga berperan sebagai institusi pendidikan pertama bagi anak-anak. Namun, saat ini banyak keluarga yang terjebak dalam rutinitas sehari-hari, mengakibatkan kurangnya perhatian kepada perkembangan moral anak. Ketidakmampuan orang tua dalam memberikan teladan yang baik sering kali menghasilkan generasi yang kurang memahami tanggung jawab sosial. Selain itu, masyarakat juga memiliki pengaruh yang besar; jika norma-norma tidak ditegakkan, maka tindakan yang tidak etis akan menjadi normal.
Dengan demikian, untuk memahami kompleksitas krisis moralitas dalam pendidikan di Sumsel, penting untuk mempertimbangkan semua faktor yang berkontribusi. Pembenahan kurikulum dan perbaikan peran keluarga serta masyarakat menjadi langkah awal yang strategis untuk mengatasi masalah ini secara komprehensif.” Ujarnya Adi, sapaan akrab Muhammad Nurhadi Mulia SH MH
Krisis moralitas dalam pendidikan di Sumsel memiliki dampak yang signifikan terhadap siswa, masyarakat, dan masa depan bangsa. Di tingkat siswa, friksi moral yang terjadi di lingkungan pendidikan dapat mengakibatkan kesehatan mental yang terganggu. Siswa yang terpapar pada lingkungan yang tidak mendukung moralitas yang baik cenderung mengalami stres, kecemasan, dan bahkan depresi. Hal ini tidak hanya menghambat proses belajar mereka, tetapi juga dapat mengarah pada perilaku menyimpang yang berpotensi merugikan diri sendiri dan orang lain.
Selanjutnya, menurutnya Adi, bahwa berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan menjadi salah satu konsekuensi yang semakin mengemuka. Ketika masyarakat melihat bahwa pendidikan tidak lagi menanamkan nilai-nilai moral yang baik, rasa hormat terhadap guru dan lembaga pendidikan pun menurun. Masyarakat mungkin mulai mempertanyakan efektivitas pendidikan yang diterima anak-anak mereka, serta mencari alternatif di luar sistem pendidikan formal. Hal ini menciptakan celah yang lebih besar di antara generasi muda dan pendidik, berpotensi mengurangi partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan yang seharusnya kolaboratif.
Selain dua dampak tersebut, terdapat juga potensi generasi yang kurang berkarakter sebagai akibat dari krisis moral dalam pendidikan. Tanpa penanaman nilai-nilai moral yang kokoh, generasi mendatang mungkin akan menghadapi tantangan dalam berinteraksi secara positif dengan lingkungan sosialnya. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya kesadaran sosial, empati, dan tanggung jawab yang seharusnya dimiliki oleh setiap individu. Jika tidak ditangani dengan serius, dampak jangka panjang ini akan menciptakan masyarakat yang rentan terhadap berbagai masalah sosial, dan akan merugikan proses pembangunan bangsa secara keseluruhan.
Dalam menghadapi krisis moralitas yang kian mengemuka dalam pendidikan di Sumatera Selatan, penting untuk merenungkan siapa yang seharusnya mengambil tanggung jawab. Seringkali, tanggung jawab ini dibagi antara pemerintah, institusi pendidikan, orang tua, dan masyarakat secara umum. Pemerintah memiliki peran penting dalam menyusun kebijakan dan kurikulum yang tidak hanya fokus pada aspek kognitif, tetapi juga pada pengembangan karakter dan moral siswa. Di samping itu, institusi pendidikan dituntut untuk menerapkan nilai-nilai moral dalam setiap aspek pengajaran. Untuk itu, pelatihan bagi tenaga pendidik mengenai cara menjaga moralitas dan mengajarkan moralitas secara efektif sangat diperlukan.
“Orang tua juga memegang peran krusial dalam fase perkembangan moral anak. Keterlibatan aktif orang tua dalam pendidikan anak di rumah, baik melalui komunikasi yang terbuka maupun dengan memberi contoh yang baik, dapat berkontribusi besar dalam membentuk karakter anak. Selain itu, peran masyarakat tidak dapat diabaikan. Program-program komunitas yang mendukung pendidikan karakter, seperti pengajian anak, pelatihan kepemimpinan untuk remaja, dan kegiatan sosial lainnya, dapat memberikan nilai tambah bagi pendidikan.
Untuk memperbaiki situasi ini termasuk pembaruan kurikulum yang mengintegrasikan nilai-nilai moral dalam pelajaran sehari-hari. Kurikulum yang berbasis pada pengembangan karakter dapat membantu siswa memahami dan menginternalisasi nilai-nilai etika. Selain itu, peningkatan peran orang tua dalam proses pendidikan dan pengembangan program-program kemitraan antara sekolah dan masyarakat dapat menghasilkan sinergi yang positif.
“Dengan mendorong kolaborasi antara semua pihak, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang tidak hanya menyuplai pengetahuan akademis, tetapi juga menumbuhkan generasi penerus yang berakhlak mulia dan bertanggung jawab. Namun tanggung jawab atas krisis moralitas tidak dapat dibebankan kepada satu pihak saja. Semua pihak harus bersatu untuk menciptakan perubahan yang vital dalam pendidikan di Sumsel.”Tandasnya Adi . (red)