Kolom Pembaca dan Opini

Reshuffle Setengah Hati: Yang Gatal Kepala tapi Kaki yang Digaruk

82
×

Reshuffle Setengah Hati: Yang Gatal Kepala tapi Kaki yang Digaruk

Sebarkan artikel ini

Oleh Buni Yani

 

KOLOM PEMBACA-OPINI, Warganet – Publik mengapresiasi langkah Presiden Prabowo yang telah mereshuffle sejumlah anggota kabinet titipan Jokowi yang dikenal sebagai termul lalu menggantikannya dengan anggota kabinet yang baru. Bagi sebagian orang, ini adalah langkah Prabowo secara perlahan menyingkirkan semua termul dari orbit kekuasaannya.

Kata pendapat ini, sekarang Prabowo sudah menjadi dirinya dan pasti termul yang masih ada di dalam kabinetnya akan disingkirkan secara perlahan dan bertahap. Bukti paling baru adalah rencana Prabowo untuk melakukan reformasi di tubuh kepolisian setelah bertemu dengan sejumlah tokoh agama.

Kini Prabowo sudah mulai mendengar masukan dari luar lingkaran dalamnya. Dia tidak lagi terperangkap di dalam tempurung kecil kedap suara yang membuatnya tidak tahu apa saja suara di luar. Publik percaya selama ini Prabowo memang dilindungi oleh lingkaran dalamnya untuk tidak bisa berinteraksi dengan dunia luar. Mereka menghalau siapa saja yang coba mendekat dan berniat memberikan pandangan berbeda yang beredar luas di tengah publik.

Intinya, pendapat ini sangat optimis bahwa Prabowo kini sudah mulai menguasai panggung permainan. Yang mengamininya sebagian besar para pendukung setia Prabowo yang percaya bahwa Prabowo memang seorang ahli strategi. Di luar pendukung setia ini tentu ada juga yang punya kepercayaan demikian, tetapi tentu dengan berbagai macam catatan kritis.

Namun pendapat berbeda juga banyak muncul di tengah-tengah publik yang bisa dibaca pada linimasa media sosial. Berbeda dengan pendapat sebelumnya, pendapat ini tetap kritis dengan langkah Prabowo. Karena menteri kabinet yang diganti bukanlah termul kelas premium yang paling dibenci masyarakat selama ini.

Seharusnya Prabowo tanpa babibu yang pertama kali diganti adalah Kapolri Sigit Listyo yang telah menjadi centeng Jokowi secara memalukan. Begitu juga dengan Tito, Bahlil, Juli Antoni, Pratikno dan semua anggota geng Solo yang sebentar-sebentar memberikan laporan ke Jokowi—sikap yang bagi publik menunjukkan kesetiaan ganda yang melahirkan istilah matahari kembar.

Para anggota kabinet termul ini di samping menunjukkan loyalitas ganda—atau bahkan sebetulnya sama sekali tidak punya loyalitas ke Prabowo—juga berulang kali membuat malu kabinet. Tito dikenal sebagai oknum yang merusak kepolisian dengan berbagai rekayasa kasus. Bahlil namanya rusak karena secara tidak jujur melakukan penipuan akademik dalam pembuatan disertasi di UI.

Juli Antoni belum lama ini tertangkap kamera sedang main gaple dengan tersangka pembalakan liar yang seharusnya dia jauhi. Pratikno dikenal sebagai intelektual tukang yang sangat nista karena menggunakan ilmunya untuk mendukung kezaliman Jokowi. Pratikno adalah operator politik Jokowi yang namanya tersangkut dalam kasus ijazah palsu Jokowi.

Di luar anggota kabinet termul itu, ada lagi wakil menteri yang tidak punya kapasitas dan pejabat yang direkrut karena jasanya menjadi buzzer laknat tukang maki lawan politik Jokowi. Ada juga sosok Luhut yang sangat dibenci rakyat karena ucapannya tidak pernah kedengaran simpatik, selalu menantang dan meremehkan penderitaan rakyat.

Seharusnya mereka-mereka ini sejak dulu dipecat bila Prabowo mendapatkan masukan yang benar. Mereka adalah musuh rakyat yang nyata karena telah menjadi budak Jokowi secara nista. Mereka dengan sadar mendukung Jokowi yang telah menjadi salah satu manusia paling korup versi OCCRP. Mereka dengan sadar mendukung kejahatan Jokowi selama ini.

Pendek kata, reshuffle kali ini adalah reshuffle setengah hati yang tidak menyentuh persoalan utama. Ibaratnya, kepala yang gatal tetapi kaki yang digaruk. Prabowo tidak langsung menghantam sumber kerusakan karena terus memberikan toleransi yang tidak perlu. Ini karena Prabowo sangat berambisi merangkul semua kalangan yang terbukti gagal sebagai sebuah strategi politik.

Suara kritis ini tentu saja tidak menafikan perubahan Prabowo yang mulai menyingkirkan para termul dari kabinetnya. Bahkan langkah ini sangat dihargai. Namun ini dianggap tidak cukup untuk membereskan begitu masifnya kerusakan di segala bidang yang ditinggalkan Jokowi. Kerusakan yang mustahil bisa diperbaiki sampai belasan atau puluhan tahun ke depan.

Seharusnya begitu Prabowo dilantik, dia mulai membenahi dan mengembalikan kepercayaan rakyat melalui penegakan keadilan, di antaranya dengan menyingkirkan semua anasir Jokowi dari orbit politiknya. Langkah ini mestinya diambil setelah Prabowo mendorong digelarnya pengadilan terhadap kejahatan Jokowi selama 10 tahun berkuasa, dan tentu saja yang tak kalah penting adalah melakukan pemakzulan terhadap Gibran.

Tanpa ini semua, maka sebetulnya Prabowo menduduki jabatan presiden di dalam ruangan kedap suara yang tidak paham apa tuntutan rakyat yang sebenarnya. Ketidakadilan yang ditimbulkan oleh Jokowi selama 10 tahun ini harus segera dihentikan, lalu Prabowo memulihkannya ke kondisi normal sebelum rakyat marah dan mengamuk tanpa kendali.

Cukuplah kerusuhan pada Agustus lalu menjadi pelajaran penting bagi Prabowo dan lingkar dalamnya agar selalu berhati-hati dan bersabar dalam mendengarkan tuntutan rakyat. Keadaan sekarang memang mereda, tetapi bukan berarti sudah sembuh sama sekali. Ledakan bisa muncul kembali kapan saja bila menemukan titik picu yang mematikan.

Saya sudah lama sekali menyinggung ketidakadilan, bahkan sebelum Jokowi berkuasa secara zalim, sejak belasan tahun yang lalu. Ungkapan sejarah berulang itu ada benarnya—dalam pengertian pengulangan dalam semangat dan dinamika yang memunculkan suatu perubahan dan gerakan sosial.

Yang sering saya singgung adalah bagaimana Revolusi Prancis (1789) dan Revolusi Bolshevik di Rusia (1917) di antarnya meledak karena meluasnya ketidakadilan yang dirasakan oleh rakyat. Revolusi ini bisa berulang di mana saja, juga di negeri kita, tanpa terkecuali. Sekarang revolusi sedang berlangsung di Nepal, yang didahului oleh Sri Lanka dan Bangladesh—juga disebabkan oleh ketidakadilan.

Kita harus saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran bahwa hanya orang bodoh yang tidak mau belajar dari sejarah. Kita tidak perlu mengalami suatu peristiwa untuk menjadi bijaksana. Belajar dari sejarah cukuplah. Janganlah revolusi di Nepal juga terjadi di negeri kita.

Rakyat meminta dengan sangat agar Prabowo jangan mengulangi kezaliman Jokowi selama 10 tahun. Segera tangkap semua penjahat, termasuk Jokowi dan pengikutnya yang terang-terangan berbuat kejahatan. Adili dengan seadil-adilnya untuk meredam amarah rakyat. Rehabiltasi nama baik semua korban kriminalisasi di zaman Jokowi.

Hanya dengan itu kepercayaan kepada Prabowo bisa pulih. Hanya dengan itu perombakan radikal memang betul-betul terjadi. Bukan reshuffle setengah hati yang menimbulkan ketidakpuasan di tengah masyarakat. Bukan menggaruk kepala padahal yang gatal kaki. ***